Beranda | Artikel
Anak yang Belum Khitan, Shalatnya Batal?
Kamis, 11 Januari 2018

Hukum Shalat Anak yang Belum Dikhitan

Benarkah anak yang belum dikhitan tidak boleh ikut berjamaah di shaf, karena shalatnya batal. Disebabkan dia islamnya belum sempurna dan masih ada najis yg menempel di kemaluannya.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Posisi seseorang bisa memutus shaf dalam shalat jamaah, jika status shalatnya batal. Misal, orang gila yang ikut shalat jamaah, dia memutus shaf, karena shalatnya batal. Atau anak kecil yang suka tolah-toleh ketika shalat, dia memutus shaf karena shalatnya batal, dst.

Selanjutnya, ada pertanyaan,

“Apakah shalat yang dikerjakan anak yang belum dikhitan, shalatnya batal?”

Kita akan menyimak beberapa riwayat beikut,

[1] Riwayat dari Said bin Jubair – muridnya Ibnu Abbas – beliau menceritakan,

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya, “Bagaimana keadaan anda ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat?”

Jawab Ibnu Abbas,

أَنَا يَوْمَئِذٍ مَخْتُونٌ . قَالَ وَكَانُوا لاَ يَخْتِنُونَ الرَّجُلَ حَتَّى يُدْرِكَ

“Saya ketika itu sudah dikhitan. Dan dulu para sahabat anaknya tidak dikhitan sampai mendekati usia baligh.” (HR. Bukhari 6299)

Riwayat ini menunjukkan bahwa para sahabat mengkhitan anaknya ketika menginjak usia belasan tahun (mendekati baligh).

[2] Riwayat dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ إِذَا بَلَغُوْا سَبْعًا ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا إِذَا بَلَغُوْا عَشْرًا ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.

“Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka (ketika meninggalkannya) saat berusia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidurnya.” (HR. Abu Daud 495 dan dishahihkan al-Albani)

Hadis ini menunjukkan bahwa anak di usia 7 tahun shalatnya sah. karena itu, dulu ada sahabat yang usianya 7 tahun sudah menjadi imam shalat. Karena anak yang usianya 7 tahun, dia sudah tamyiz.

Dari Amr bin Salamah radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,

كُنَّا بِحَاضِرٍ يَمُرُّ بِنَا النَّاسُ إِذَا أَتَوُا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانُوا إِذَا رَجَعُوا مَرُّوا بِنَا، فَأَخْبَرُونَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: كَذَا وَكَذَا وَكُنْتُ غُلَامًا حَافِظًا فَحَفِظْتُ مِنْ ذَلِكَ قُرْآنًا كَثِيرًا فَانْطَلَقَ أَبِي وَافِدًا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِهِ فَعَلَّمَهُمُ الصَّلَاةَ، فَقَالَ: «يَؤُمُّكُمْ أَقْرَؤُكُمْ» وَكُنْتُ أَقْرَأَهُمْ لِمَا كُنْتُ أَحْفَظُ فَقَدَّمُونِي فَكُنْتُ أَؤُمُّهُمْ وَعَلَيَّ بُرْدَةٌ لِي صَغِيرَةٌ صَفْرَاءُ…، فَكُنْتُ أَؤُمُّهُمْ وَأَنَا ابْنُ سَبْعِ سِنِينَ أَوْ ثَمَانِ سِنِينَ

“Kami tinggal di kampung yang dilewati para sahabat ketika mereka hendak bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Sepulang mereka dari Madinah, mereka melewati kampung kami. Mereka mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian dan demikian. Ketika itu, saya adalah seorang anak yang cepat menghafal, sehingga aku bisa menghafal banyak ayat Al-Quran dari para sahabat yang lewat. Sampai akhirnya, ayahku datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama masyarakatnya, dan beliau mengajari mereka tata cara shalat. Beliau bersabda, “Yang menjadi imam adalah yang paling banyak hafalan qurannya.” Sementara Aku (Amr bin Salamah) adalah orang yang paling banyak hafalannya, karena aku sering menghafal. Sehingga mereka menyuruhku untuk menjadi imam. Akupun mengimami mereka dengan memakai pakaian kecil milikku yang berwarna kuning…, aku mengimami mereka ketika aku berusia 7 tahun atau 8 tahun. (HR. Bukhari 4302 dan Abu Daud 585).

[3] Diantara dalil bahwa shalatnya anak kecil yang sudah tamyiz statusnya sah adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan pengalamannya shalat tahajud bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Bahwa Ibnu Abbas yang kala itu masih anak-anak pernah tidur di rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika masuk pertengahan malam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun, mengambil wudhu, dan Ibnu Abbas berwudhu bersama beliau. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai shalat, Ibnu Abbas berdiri di samping kiri beliau, lalu dipindah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke sebelah kanan beliau. Dalam kondisi itu, Ibnu Abbas bercerita,

فَجَعَلْتُ إِذَا أَغْفَيْتُ يَأْخُذُ بِشَحْمَةِ أُذُنِى – قَالَ – فَصَلَّى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Ketika saya ngantuk, beliau menjewer telingaku. Dan beliau shalat 11 rakaat.” (HR. Muslim 1828).

Jika umumnya para sahabat belum mekhitan anaknya di usia 7th atau 10th, sementara mereka telah mengerjakan shalat, berarti shalat anak yang belum dikhitan hukumnya sah. Jika shalatnya tidak sah, berarti tidak ada manfaatnya mereka diperintahkan untuk mengerjakan shalat di usia 7th dan 10th.

Imam Ibnu Baz – rahimahullah – mengatakan,

الواجب قطع هذه القلفة حتى يبرز طرف الذكر، وحتى يسلم من وجود أشياء في هذه القلفة من الأوساخ والنجاسات، لكن صلاته صحيحة، لو بلغ ولم يختن صلاته صحيحة، وصومه صحيح

Wajib untuk memotong kulub, sehingga tudung dzakar kelihatan. Sehingga bersih semua kotoran dan najis yang tertutup kulub ini. Meskipun shalatnya sah. Andaipun dia baligh dan belum dikhitan, shalatnya tetap sah, puasanya juga sah. (https://beta.binbaz.org.sa/fatwas/22044)

Fatwa yang semisal cukup banyak…

Bukankah orang yang belum dikhitan, islamnya belum sempurna?

Kami tidak menjumpai dalil bahwa orang yang belum dikhitan, islamnya belum sempurna. Jika kita menganggap khitan hukumnya wajib, maka khitan sama seperti kewajiban yang lainnya. Dan diantara kita pernah meninggalkan kewajiban agama. Bahkan sampai ada yang meninggalkan sebagian shalat, atau tidak membayar zakat. Kita anggap mereka masih muslim, dan kalau shalat, tetap sah.

Bukankah ada najis di kulubnya?

Ini bisa dibersihkan. Sementara najis yang berada di dalam, yang tidak bisa dijangkau manusia, tidak terhitung najis yang membatalkan shalat. Sebagaimana kita setelah buang air besar, masih ada sebagian najis yang menempel di lubang anus. Dan kita tidak diwajibkan untuk membersihkannya secara total.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/30976-anak-yang-belum-khitan-shalatnya-batal.html